surga – muchad https://muchad.com Mukhlish Fuadi Thu, 20 Oct 2016 03:59:46 +0000 en-US hourly 1 Persepsi dan Konteks https://muchad.com/persepsi-dan-konteks/ https://muchad.com/persepsi-dan-konteks/#respond Thu, 20 Oct 2016 03:59:46 +0000 http://muchad.com/?p=2402 Read more »]]> Beberapa hari yang lalu (bukan waktu sebenarnya hehe), ada pemateri yang hadir ke kantor muchad (kalo ini cerita sebenarnya hehe). Pemateri ini hadir untuk mengajak brainstorming (ya begitulah bahasa yang dia pakai) muchad dan kawan-kawan, dengan tema “manajemen”. Pemateri menyampaikan banyak hal terkait kondisi dan berbagai kemungkinan kondisi di lingkungan kerja hingga membahas topik persepsi. Seperti biasa, bila membahas topik persepsi sudah bisa dipastikan, pemateri akan menganjurkan melihat “sesuatu” dari banyak persepsi, bukan hanya dari satu persepsi. Materi berlanjut, hingga bersilakan bertanya.
 
muchad mengajukan pertanyaan, beberapa pertanyaan tepatnya. Hingga sampai di sebuah pertanyaan, yang jawaban pematerinya agak aneh. Kenapa aneh? muchad bertanya yang inti pertanyaannya begini: “Pak, saat kami mengajari pegawai kami “cara bekerja” yang tepat, dan ketika pegawai tersebut sudah mampu “bekerja yang tepat”, dia keluar dari perusahaan dan mendirikan perusahaan sendiri. Nah, Bapak kan jam terbangnya sudah tinggi, menurut Bapak, bagaimana mengelola manajemen yang baik agar tidak terjadi hal yang demikian?
Dia menjawab: “Kenapa kamu jadi susah? Mestinya kamu bersyukur sudah berhasil membantu orang lain untuk lebih sukses, kalau kamu tidak bisa demikian itu sama artinya kamu tidak meyakini Laa Ilaha Illallah.”
Oh God, this is about mgmt alias management, not about Islamic studies…
muchad menimpali: “Lho Pak, pertemuan kita kan tentang manajemen, bukan spiritual. Ini kan konteksnya manajemen”.
Di papan tulis saat itu juga masih tertulis dengan jelas, tulisan pemateri: MGMT.
Pemateri menjawab: “Kamu mestinya bisa merubah persepsimu, saya stop di sini ya…ini bila dilanjutkan akan panjang”.
Kalo jawaban spiritual sih, teman-teman di sini sudah pada mafhum. Hari tersebut kan belajar tentang manajemen dan juga persepsi, kok malah pemateri menjustifikasi seseorang hanya dari satu persepsi (persepsi agama versi pemateri), padahal sebelumnya dia sudah menjelaskan panjang lebar bagaimana pentingnya melihat “sesuatu” dari banyak persepsi. Dan sayangnya waktu itu dia sudah men-stop dan waktu sudah mulai larut (sudah melampaui jam pulang), jadi muchad tidak bisa melanjutkan pertanyaan. Sudah jelas konteksnya “manajemen”, kan tentunya bisa dijawab dengan bahasa manajemen, kan di manajemen ada tu recruitment, selection and retain. Retain ini kan tentang mempertahankan SDM agar tidak kabur, bila pemateri punya pengalaman tentang ini kan mestinya ini yang di-share bukan malah menjustifikasi spiritual seseorang. Andai diberi kesempatan melanjutkan pertanyaan, muchad akan bertanya begini:
“Pak, andai Bapak menjadi investor di perusahaan kami, dan ketika Bapak bertanya terkait masalah pegawai seperti itu tadi (setelah mampu pada kabur), dan kami menjawab seperti jawaban Bapak tadi, bagaimana respon Bapak?”
Bisa-bisa para investor sembelih kami tuh hoho.
Oot dikit, teman-teman pernah ga di suatu pertemuan entah di kelas bersama dosen atau guru atau dengan motivator atau pemateri, kemudian ada teman kita sebut saja si-A mengajukan pertanyaan atau pernyataan. Nah setelah si-A mengajukan pertanyaan atau pernyataan tersebut, si dosen atau pemateri menjawab dengan persepsi si pemateri. Nah si pemateri menjawab atau merespon si A dengan jawaban yang menyalahkan si A bahkan ada kecenderungan memberi stigma (cap buruk) ke A, dan saat itu kita sebagai pendengar hanya menyetujui pendapat si pemateri. Dalam pikiran kita: “betul tu apa yang dibilang pemateri”. Tapi beberapa saat atau hari kemudian, pikiran atau keadaan kita berada pada posisi atau kondisi yang menyatakan bahwa pendapat si pemateri tidak sepenuhnya benar. Dalam pikiran kita: “Si A ga sepenuhnya salah kok, pendapat pemateri itu juga tidak sepenuhnya benar karena bila gini gimana, bila gitu gimana…”. Pernah ga ngalami gitu?
Nah kadang pikiran kita bisa merespon saat itu juga, tapi kadang butuh waktu atau butuh informasi lain atau bahkan butuh kondisi tertentu agar pikiran lebih terbuka sehingga bisa mengolahnya dengan baik dan berbuah sebuah kesimpulan atau jawaban atau argumen.
Bila ingin menjadi orang yang kritis, tentu yang baik adalah kita bisa merespon saat itu juga…karena bila kita terlalu lama untuk memperoleh argumen yang sesuai, bisa-bisa sesi tanya jawab sudah ditutup atau bahkan acara sudah berakhir hehe. Nah untuk bisa merespon dengan cepat dan tepat tentu bukan hal mudah, kalo tanya muchad gimana caranya agar bisa merespon dengan cepat dan tepat, muchad sendiri tidak bisa menjawab, tapi satu hal: kita tentu bisa melatihnya. Lha latihannya gimana? Mungkin ikutan lomba debat ya haha, muchad ga tahu sih karena muchad sendiri mungkin belum masuk kategori respon cepat, monggo deh latihan sendiri-sendiri.
 
Kembali ke cerita awal, tentang si pemateri di kantor muchad. Diambil hikmahnya aja sih, kalo tidak ada kejadian demikian mungkin muchad juga ga akan menulis ini. Berkat ada kejadian gini muchad jadi geregetan buat nulis hehe dan jadi ingat kejadian-kejadian di masa lalu saat kita “selalu membenarkan” dan berpikir bahwa apa yang disampaikan pemateri atau guru atau dosen adalah yang “paling benar”. Padahal seiring waktu, seiring informasi dan wawasan serta pengalaman yang kita miliki ternyata jawaban mereka terkadang tidak sepenuhnya benar dan bahkan sebagian teman-teman kita berhasil membuktikan bahwa jawaban-jawaban itu adalah salah. Salut untuk teman-teman yang berhasil membuktikan dirinya dan tidak terkungkung oleh pendapat orang lain.
Satu hal mungkin, sepintar dan seluas apa pun wawasan kita alangkah baiknya jangan sampai sombong dan merasa yang paling benar (tidak mau dikoreksi) apalagi berani hingga menjustifikasi surga atau neraka seseorang.
Sekedar bercanda: andai si pemateri tadi mengisi materi lagi di kantor, dan memberi sesi tanya jawab, dan bertanya: “muchad ga tanya?”, mungkin muchad jawab: “ga deh Pak, ntar saya masuk neraka lagi hehe”.
Tulisan ini hanya dari persepsi muchad, dan tentu saja tak terlepas dari subyektifitas muchad so silakan teman-teman menyatakan pendapatnya masing-masing… Ya Allah, guide us to the straight path.

]]>
https://muchad.com/persepsi-dan-konteks/feed/ 0
Cara Akses Frekuensi Tuhan https://muchad.com/cara-akses-frekuensi-tuhan/ https://muchad.com/cara-akses-frekuensi-tuhan/#respond Wed, 08 Jun 2016 02:28:55 +0000 http://muchad.com/?p=2342 Read more »]]> Judul yang hebat ya?! Semoga judul yang muchad buat sesuai dengan tulisan yang akan teman-teman baca.
Di grup whatsapp, baru saja memperoleh sebuah tulisan yang sangat menarik dari Prof. Imam Suprayogo. Sangat menarik dan semoga bermanfaat untuk kita, berikut tulisannya dengan sedikit perbaikan penulisan kata dari muchad:

Refleksi Ramadhan

Percakapan spiritual Presiden Soekarno dengan Prof. DR. H. Kadirun Yahya, Msc – seorang angkatan 1945, ahli sufi, ahli fisika dan metafisika yang pernah menjabat sebagai rektor Universitas Panca Budi, Medan.

Bersama rombongan, beliau saat itu diterima di beranda Istana Merdeka (sekitar bulan Juli 1965) bersama dengan Prof. Ir. Brojonegoro (alm), Prof. dr. Syarif Thayib, Bapak Suprayogi, Admiral John Lie, Pak Sucipto Besar, Kapolri, Duta Besar Belanda.
“Wah, pagi-pagi begini saya sudah dikepung oleh 3 Profesor-Profesor” kelakar Ir. Soekarno membuka dialog ketika menemui rombongan Prof. Kadirun Yahya beserta rombongan. Kemudian Presiden Soekarno mempersilakan rombongan tamunya untuk duduk. “Profesor Kadirun Yahya silakan duduk dekat saya”, pinta presiden Soekarno kepada Prof. Kadirun Yahya, terkesan khusus.
 
“Professor, ik horde van jou al sinds 4 jaar, maar nu pas onmoet ik jou, ik wou je eigenlijk iets vragen (saya dengar tentang engkau sudah sejak 4 tahun, tapi baru sekarang aku ketemu engkau, sebenarnya ada sesuatu yang akan aku tanyakan padamu),” kata presiden Soekarno dengan bahasa Belanda.
“Ya, tentang apa itu Bapak Presiden…?”
“Tentang sesuatu hal yang sudah kira-kira 10 tahun, saya cari-cari jawabannya, tapi belum ketemu jawaban yang memuaskan. Saya sudah bertanya pada semua ulama dan para intelektual yang saya anggap tahu. Tetapi semua jawabannya tetap tidak memuaskan saya.”
 
“Lantas soalnya apa bapak Presiden?”
“Saya bertanya terlebih dahulu tentang yang lain, sebelum saya ajukan pertanyaan yang sebenarnya” jawab Presiden Soekarno.
“Baik Presiden” kata Prof. Kadirun Yahya
“Manakah yang lebih tinggi, Presiden atau Jenderal atau Profesor dibanding dengan sorga?” tanya Presiden. “Sorga” jawab Prof. Kadirun Yahya.
“Accoord (setuju)”, balas Presiden terlihat lega.
Menyusul Presiden bertanya untuk soal berikutnya. “Lantas manakah yang lebih banyak dan lebih lama pengorbanannya antara pangkat-pangkat dunia yang tadi dibanding dengan pangkat sorga?” tanyanya.
 
“Untuk Presiden, Jenderal, Profesor harus berpuluh-puluh tahun berkorban dan ber-abdi pada Negara, nusa dan bangsa atau pada ilmu pengetahuan. Sedangkan untuk mendapatkan sorga harus berkorban untuk Allah segala-galanya. Berpuluh-puluh tahun terus menerus, bahkan menurut agama Hindu atau Budha harus beribu-ribu kali hidup dan berabdi, baru barangkali dapat masuk Nirwana,” jawab Prof. Kadirun.
“Accoord”, kata Bung Karno (panggilan akrab Presiden).
“Nu heb ik je te pakken Professor (sekarang baru dapat kutangkap engkau Profesor)” lanjut Bung Karno. Tampak mukanya cerah berseri dengan senyumnya yang khas. Dan kelihatannya Bung Karno belum ingin cepat-cepat bertanya untuk yang pokok masalah. “Saya cerita sedikit dulu” kata Bung Karno.
“Silakan Bapak Presiden”.
“Saya telah melihat teman-teman saya meninggal dunia lebih dahulu dari saya, dan hampir semuanya matinya jelek karena banyak dosa rupanya. Saya pun banyak dosa dan saya takut mati jelek. Maka saya selidiki Al-Quran dan Al-Hadits bagaimana caranya supaya dengan mudah hapus dosa saya dan dapat ampunan dan bisa mati tersenyum?”
 
“Lantas saya ketemu dengan satu Hadits yang bagi saya berharga. Bunyinya kira-kira sebagai berikut: Rasulullah berkata; Seorang wanita penuh dosa berjalan di padang pasir, bertemu dengan seekor anjing dan kehausan. Wanita tadi mengambil gayung yang berisikan air dan memberi minum anjing yang kehausan itu. Rasul lewat dan berkata: Hai para sahabatku. Lihatlah, dengan memberi minum anjing itu, hapus dosa wanita itu dunia dan akhirat. Ia ahli sorga”.
 
“Nah Profesor, tadi engkau katakan bahwa untuk mendapatkan sorga harus berkorban segala-galanya, berpuluh-puluh tahun untuk Allah baru dapat masuk sorga. Itupun barangkali. Sementara sekarang seorang wanita yang berdosa dengan sedikit saja jasa, itupun pada seekor anjing pula, dihapuskan Tuhan dosanya dan ia ahli sorga. How do you explain it Professor?” Tanya Bung Karno lanjut. Profesor Kadirun Yahya terlihat tidak langsung menjawab. Ia hening sejenak. Lantas berdiri dan meminta kertas.
 
“Presiden, U zei, det U in 10 jaren’t antwoord niet hebt kunnen vinden, laten we zien (Presiden, tadi bapak katakan dalam 10 tahun tak ketemu jawabannya, coba kita lihat), mudah-mudahan dengan bantuan Allah dalam 2 menit saja saya coba memberikan jawabannya dan memuaskan”, katanya.
Keduanya adalah sama-sama eksakta, Bung Karno adalah seorang insinyur dan Profesor Kadirun Yahya adalah ahli kimia/fisika.
Di atas kertas Prof. Kadirun mulai menuliskan penjelasannya.
10/10 = 1 ;
“Ya” kata Presiden.
10/100 = 1/10 ;
“Ya” kata Presiden.
10/1000` = 1/100 ;
“Ya” kata Presiden.
10/10.000 = 1/1000 ;
“Ya” kata Presiden.
10 / ∞ (tak terhingga) = 0 ;
“Ya” kata Presiden.
1000.000 … / ∞ = 0 ;
“Ya” kata Presiden.
(Berapa saja + Apa saja) /∞ = 0;
“Ya” kata Presiden.
Dosa / ∞ = 0 ;
“Ya” kata Presiden.
“Nah…” lanjut Prof,
1 x ∞ = ∞ ;
“Ya” kata Presiden
½ x ∞ = ∞ ;
“Ya” kata Presiden.
1 zarah x ∞ = ∞ ;
“Ya” kata Presiden.
“… ini artinya, sang wanita, walaupun hanya 1 zarah jasanya, bahkan terhadap seekor anjing sekalipun, mengkaitkan, menggandengkan gerakannya dengan yang Maha Akbar.”
“Mengikutsertakan yang Maha Besar dalam gerakan-gerakannya, maka hasil dari gerakannya itu menghasilkan ibadah yang begitu besar, yang langsung dihadapkan pada dosa-dosanya, yang pada saat itu juga hancur berkeping-keping. Ditorpedo oleh PAHALA yang Maha Besar itu. 1 zarah x ∞ = ∞ Dan, Dosa / ∞ = 0.
Ziedaar hetantwoord, Presiden (Itulah dia jawabannya Presiden)” jawab Profesor.
 
Bung Karno diam sejenak . “Geweldig (hebat)” katanya kemudian. Dan Bung Karno terlihat semakin penasaran.
Masih ada lagi pertanyaan yang ia ajukan. “Bagaimana agar dapat hubungan dengan Tuhan?” katanya.
Profesor Kadirun Yahya pun lanjut menjawabnya. “Dengan mendapatkan frekuensi-Nya. Tanpa mendapatkan frekuensi-Nya tak mungkin ada kontak dengan Tuhan.”
“Lihat saja, walaupun 1 mm jaraknya dari sebuah zender radio, kita letakkan radio dengan frekuensi yang tidak sama, maka radio kita itu tidak akan mengeluarkan suara dari zender tersebut. Begitu juga dengan Tuhan, walaupun Tuhan berada lebih dekat dari kedua urat leher kita, tak mungkin ada kontak jika frekuensi-Nya tidak kita dapati”, jelasnya.
“Bagaimana agar dapat frekuensi-Nya, sementara kita adalah manusia kecil yang serba kekurangan ?” tanya Presiden kemudian.
“Melalui isi dada Rasulullah” jawab Prof.
“Dalam Hadits Qudsi berbunyi yang artinya : Bahwasanya Al-Quran ini satu ujungnya di tangan Allah dan satu lagi di tangan kamu, maka peganglah kuat-kuat akan dia” (Abi Syuraihil Khuza’ayya.r.a), lanjutnya.
 
Prof menyambung, “Begitu juga dalam QS.Al-Hijr :29 – Maka setelah Aku sempurnakan dia dan Aku tiupkan di dalamnya sebagian rohKu, rebahkanlah dirimu bersujud kepadaNya”.
“Nur Illahi yang terbit dari Allah sendiri adalah tali yang nyata antara Allah dengan Rasulullah. Ujung Nur Illahi itu ada dalam dada Rasulullah. Ujungnya itulah yang kita hubungi, maka jelas kita akan dapat frekuensi dari Allah SWT”, kata Prof.
 
Prof melanjutkan, “Lihat saja sunnatullah, hanya cahaya matahari saja yang satu-satunya sampai pada matahari. Tak ada yang sampai pada matahari melainkan cahayanya sendiri. Juga gas-gas yang saringan-saringannya tak ada yang sampai matahari, walaupun ‘edelgassen’ seperti : Xenon, Crypton, Argon, Helium, Hydrogen dan lain-lain. Semua vacuum!
Yang sampai pada matahari hanya cahayanya karena ia terbit darinya dan tak bercerai siang dan malamnya dengannya. Kalaulah matahari umurnya 1 (satu) juta tahun, maka cahayanyapun akan berumur sejuta tahun pula. Kalau matahari hilang maka cahayanyapun akan hilang. Matahari hanya dapat dilihat melalui cahayanya, tanpa cahaya, mataharipun tak dapat dilihat”.
“Namun cahaya matahari, bukanlah matahari – cahaya matahari adalah getaran transversal dan longitudinal dari matahari sendiri (Huygens)”, jelas Prof.
Prof. menyimpulkan, “Dan Rasulullah adalah satu-satunya manusia akhir zaman yang mendapat Nur Illahi dalam dadanya. Mutlak jika hendak mendapatkan frekuensi Allah, ujung dari nur itu yang berada dalam dada Rasulullah harus dihubungi.”
 
wave_muchad.jpg
“Bagaimana cara menghubungkannya, sementara Rasulullah sudah wafat sekian lama?” tanya Presiden. “
Prof. menjawab, “Memperbanyak sholawat atas Nabi tentu akan mendapatkan frekuensi Beliau, yang otomatis mendapat frekuensi Allah SWT.
–Tidak kukabulkan doa seseorang, tanpa shalawat atas Rasul-Ku. Doanya tergantung di awang-awang – (HR. Abu Daud dan An-Nasay).
Jika diterjemahkan secara akademis mungkin kurang lebih : “Tidak engkau mendapat frekuensi-Ku tanpa lebih dahulu mendapat frekuensi Rasul-Ku”.
Sontak Presiden berdiri. “You are wonderful” teriaknya. Sejurus kemudian, dengan merangkul kedua tangan profesor, Presiden pun bermohon : “Profesor, doakan saya supaya dapat mati dengan tersenyum dibelakang hari nanti…”.
Ir. Soekarno gemar belajar Islam Dari Hos Tjokroaminoto – Syarikat Islam, KH. Ahmad Dahlan – Muhammadiyah, KH. Hasyim Asy’ari – NU, KH. A Hasan – Persis, dan Pak Kadirun Yahya – Thariqah, dan lainnya.
 
muchad:
Jadi, password login untuk akses frekuensi Allah adalah sholawat ya, so amanin tu passwordnya hehe.

]]>
https://muchad.com/cara-akses-frekuensi-tuhan/feed/ 0