Persepsi dan Konteks

Recommended by 256 people
. in Reflection . 7 min read
Recommended by 256 people

Beberapa hari yang lalu (bukan waktu sebenarnya hehe), ada pemateri yang hadir ke kantor muchad (kalo ini cerita sebenarnya hehe). Pemateri ini hadir untuk mengajak brainstorming (ya begitulah bahasa yang dia pakai) muchad dan kawan-kawan, dengan tema “manajemen”. Pemateri menyampaikan banyak hal terkait kondisi dan berbagai kemungkinan kondisi di lingkungan kerja hingga membahas topik persepsi. Seperti biasa, bila membahas topik persepsi sudah bisa dipastikan, pemateri akan menganjurkan melihat “sesuatu” dari banyak persepsi, bukan hanya dari satu persepsi. Materi berlanjut, hingga bersilakan bertanya.
 
muchad mengajukan pertanyaan, beberapa pertanyaan tepatnya. Hingga sampai di sebuah pertanyaan, yang jawaban pematerinya agak aneh. Kenapa aneh? muchad bertanya yang inti pertanyaannya begini: “Pak, saat kami mengajari pegawai kami “cara bekerja” yang tepat, dan ketika pegawai tersebut sudah mampu “bekerja yang tepat”, dia keluar dari perusahaan dan mendirikan perusahaan sendiri. Nah, Bapak kan jam terbangnya sudah tinggi, menurut Bapak, bagaimana mengelola manajemen yang baik agar tidak terjadi hal yang demikian?
Dia menjawab: “Kenapa kamu jadi susah? Mestinya kamu bersyukur sudah berhasil membantu orang lain untuk lebih sukses, kalau kamu tidak bisa demikian itu sama artinya kamu tidak meyakini Laa Ilaha Illallah.”
Oh God, this is about mgmt alias management, not about Islamic studies…
muchad menimpali: “Lho Pak, pertemuan kita kan tentang manajemen, bukan spiritual. Ini kan konteksnya manajemen”.
Di papan tulis saat itu juga masih tertulis dengan jelas, tulisan pemateri: MGMT.
Pemateri menjawab: “Kamu mestinya bisa merubah persepsimu, saya stop di sini ya…ini bila dilanjutkan akan panjang”.
Kalo jawaban spiritual sih, teman-teman di sini sudah pada mafhum. Hari tersebut kan belajar tentang manajemen dan juga persepsi, kok malah pemateri menjustifikasi seseorang hanya dari satu persepsi (persepsi agama versi pemateri), padahal sebelumnya dia sudah menjelaskan panjang lebar bagaimana pentingnya melihat “sesuatu” dari banyak persepsi. Dan sayangnya waktu itu dia sudah men-stop dan waktu sudah mulai larut (sudah melampaui jam pulang), jadi muchad tidak bisa melanjutkan pertanyaan. Sudah jelas konteksnya “manajemen”, kan tentunya bisa dijawab dengan bahasa manajemen, kan di manajemen ada tu recruitment, selection and retain. Retain ini kan tentang mempertahankan SDM agar tidak kabur, bila pemateri punya pengalaman tentang ini kan mestinya ini yang di-share bukan malah menjustifikasi spiritual seseorang. Andai diberi kesempatan melanjutkan pertanyaan, muchad akan bertanya begini:
“Pak, andai Bapak menjadi investor di perusahaan kami, dan ketika Bapak bertanya terkait masalah pegawai seperti itu tadi (setelah mampu pada kabur), dan kami menjawab seperti jawaban Bapak tadi, bagaimana respon Bapak?”
Bisa-bisa para investor sembelih kami tuh hoho.
Oot dikit, teman-teman pernah ga di suatu pertemuan entah di kelas bersama dosen atau guru atau dengan motivator atau pemateri, kemudian ada teman kita sebut saja si-A mengajukan pertanyaan atau pernyataan. Nah setelah si-A mengajukan pertanyaan atau pernyataan tersebut, si dosen atau pemateri menjawab dengan persepsi si pemateri. Nah si pemateri menjawab atau merespon si A dengan jawaban yang menyalahkan si A bahkan ada kecenderungan memberi stigma (cap buruk) ke A, dan saat itu kita sebagai pendengar hanya menyetujui pendapat si pemateri. Dalam pikiran kita: “betul tu apa yang dibilang pemateri”. Tapi beberapa saat atau hari kemudian, pikiran atau keadaan kita berada pada posisi atau kondisi yang menyatakan bahwa pendapat si pemateri tidak sepenuhnya benar. Dalam pikiran kita: “Si A ga sepenuhnya salah kok, pendapat pemateri itu juga tidak sepenuhnya benar karena bila gini gimana, bila gitu gimana…”. Pernah ga ngalami gitu?
Nah kadang pikiran kita bisa merespon saat itu juga, tapi kadang butuh waktu atau butuh informasi lain atau bahkan butuh kondisi tertentu agar pikiran lebih terbuka sehingga bisa mengolahnya dengan baik dan berbuah sebuah kesimpulan atau jawaban atau argumen.
Bila ingin menjadi orang yang kritis, tentu yang baik adalah kita bisa merespon saat itu juga…karena bila kita terlalu lama untuk memperoleh argumen yang sesuai, bisa-bisa sesi tanya jawab sudah ditutup atau bahkan acara sudah berakhir hehe. Nah untuk bisa merespon dengan cepat dan tepat tentu bukan hal mudah, kalo tanya muchad gimana caranya agar bisa merespon dengan cepat dan tepat, muchad sendiri tidak bisa menjawab, tapi satu hal: kita tentu bisa melatihnya. Lha latihannya gimana? Mungkin ikutan lomba debat ya haha, muchad ga tahu sih karena muchad sendiri mungkin belum masuk kategori respon cepat, monggo deh latihan sendiri-sendiri.
 
Kembali ke cerita awal, tentang si pemateri di kantor muchad. Diambil hikmahnya aja sih, kalo tidak ada kejadian demikian mungkin muchad juga ga akan menulis ini. Berkat ada kejadian gini muchad jadi geregetan buat nulis hehe dan jadi ingat kejadian-kejadian di masa lalu saat kita “selalu membenarkan” dan berpikir bahwa apa yang disampaikan pemateri atau guru atau dosen adalah yang “paling benar”. Padahal seiring waktu, seiring informasi dan wawasan serta pengalaman yang kita miliki ternyata jawaban mereka terkadang tidak sepenuhnya benar dan bahkan sebagian teman-teman kita berhasil membuktikan bahwa jawaban-jawaban itu adalah salah. Salut untuk teman-teman yang berhasil membuktikan dirinya dan tidak terkungkung oleh pendapat orang lain.
Satu hal mungkin, sepintar dan seluas apa pun wawasan kita alangkah baiknya jangan sampai sombong dan merasa yang paling benar (tidak mau dikoreksi) apalagi berani hingga menjustifikasi surga atau neraka seseorang.
Sekedar bercanda: andai si pemateri tadi mengisi materi lagi di kantor, dan memberi sesi tanya jawab, dan bertanya: “muchad ga tanya?”, mungkin muchad jawab: “ga deh Pak, ntar saya masuk neraka lagi hehe”.
Tulisan ini hanya dari persepsi muchad, dan tentu saja tak terlepas dari subyektifitas muchad so silakan teman-teman menyatakan pendapatnya masing-masing… Ya Allah, guide us to the straight path.



Responses
 
Write a response...
Your email address will not be published. Required fields are marked *