DALIL SYAR’I (Bag. 2) : Al-Maslahah Al-Mursalah

Recommended by 157 people
. in Tutorial . 8 min read
Recommended by 157 people
a.    Pengertian Al-Maslahah Al-Mursalah
Secara etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi maslahah yang dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mangandung esensi yang sama. Imam Al-Ghazali, mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.”
Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut, menurut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ di atas, maka dinamakan maslahah. Di samping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan maslahah.
Dengan demikian, al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya.
Sedangkan alasan dikatakan al-mursalah, karena syara’ memutlakannya bahwa di dalamnya tidak terdapat kaidah syara’ menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.
b.    Macam-Macam Al-Maslahah Al-Mursalah
Para ahli ushul fiqh mengemuakkan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat dari beberapa segi.
•    Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para ahli ushul fiqh membaginya kepada tiga macam, yaitu:
1.    Maslahah al-Dzaruriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu 1. memelihara agama, 2. memelihara jiwa, 3. memelihara akal, 4. memelihara keturunan, dan 5. memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashalih al-khamsah.
2.    Maslahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir.
3.    Maslahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan yang bergizi.
•    Dilihat dari segi kandungan maslahah, para ulama ushul fiqh membaginya kepada:
1.    Maslahah al-‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
2.    Maslahah al-Khashshah, kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (maqfud).
•    Dilihat dari segi berubah atau tidaknya maslahah, menurut Muhammad Musthafa al-Syalabi, guru besar ushul fiqh di Universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu:
1.    Maslahah al-Tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
2.    Maslahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan permasalahan mu’amalah dan adapt kebiasaan.
•    Dilihat dari segi keberadaan maslahah menurut syara’ terbagi kepada:
1.    Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’. Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.
2.    Maslahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’.
3.    Maslahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi dua, yaitu: 1. maslahah al-gharibah, yaitu kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’, baik secara rinci maupun secara umum. 2. maslahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara’ atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadits).
c.    Kehujjahan Al-Maslahah Al-Mursalah
Adapun terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat.
Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum.
Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Untuk bisa menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat, yaitu:
1.    Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara umum.
2.    Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui maslahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan.
3.    Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.
Ulama golongan Syafi’iyyah, pada dasarnya, juga menjadikan maslahah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, Imam Syafi’i, memasukkannya ke dalam qiyas. Ada beberapa syarat yang dikemukakan al-Ghazali terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu:
1.    Maslahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’
2.    Maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’
3.    Maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang dharuri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.
Dengan demikian, Jumhur Ulama sebenarnya menerima maslahah al-mursalah sebagai salah satu metode dalam mengistinbatkan hukum islam.
Alasan Jumhur Ulama dalam menetapkan maslahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah:
1.    Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi manusia.
2.    Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
3.    Jumhur Ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti Umar ibn al-Khathab tidak memberi bagian zakat kepada para muallaf (orang yang baru masuk islam), karena menurut ‘Umar, kemaslahatan orang banyak menuntut untuk hal itu.



Responses
 
Write a response...
Your email address will not be published. Required fields are marked *