a. Pengertian Istihsan
Secara etimologi, istihan berarti “Menyatakan dan menyakini baiknya sesuatu”. Dan secara terminologi ulama ushul, istihsan adalah sebagai berikut:
a) Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa juz I: 137, “Istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.”
b) Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, “Istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu dari al-qur’an an as-sunnah.”
c) Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam Madzhab Al-Maliki berkata, “Istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahan yang bersifat juz’i dalam menanggapi dalil yang bersifat global.”
d) Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi, “Istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.”
e) Sebagian ulama yang lainnya mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan adil dalam hukum yang menggunakan dalil adapt untuk kemaslahatan manusia, dan lain-lain.”
Adapun dikalangan ulama Syafi’iyyah, tidak ditemukan definisi istihsan, karena sejak semula mereka tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Dalam masalah ini Imam Al-Syafi’i mengatakan:
من استحسن فقد شرع
“Barang siapa yang menggunakan istihsan, sesungguhnya ia telah membuat-buat syara’.”
Beliau juga berkata, “Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT., setidaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan qiyas, namun tidak dibolehkan menggunaakan istihsan.”
b. Macam-macam Istihsan
Ulama Hanafiyah membagi istihsan kepada 6 macam yaitu:
a) Istihsan bi al-Nash /
الإحتسان بالنص (Istihsan berdasarkan ayat atau hadits). Maksudnya, ada ayat atau hadits tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum.
b) Istihsan bi al-ijma’ /
بالإجماع الإحتسان(Istihsan yang didasarkan kepada ijma’).
c) Istihsan bi al-qiyas al-khafiy / بالقياس الخفي
الإحتسان (Istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi).
d) Istihsan bi al-mashlahah /
الإحتسان بالمسلحة (Istihsan berdasarkan kemaslahatan).
e) Istihsan bi al-‘urf /
بالعرف الإحتسان (Istihsan berdasarkan adapt kebiasaan yang berlaku umum).
f) Istihsan bi al-dzarurah /
بالضرورة الإحتسان (Istihsan berdasarkan keadaan darurat). Artinya, ada keadaan-keadaan darurat yang menyebabkan seorang mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum / qiyas.
c. Kehujjahan Istihsan
Terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode / dalil dalam menetapkan hukum syara’.
Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan sebagian ulama Hanabilah, Istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
1. Ayat-ayat yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia, yaitu firman Allah dalam surat Al-Baqarah, 2:185;
…Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu…
2. Rasulullah dalam riwayat ‘Abdillah ibn Mas’ud mengatakan:
Sesuatu yang dipandang baik oleh umat islam, maka ia juga dihadapan Allah adalah baik. (H.R.Ahmad ibn Hambal).
3. Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadits terhadap berbagai permasalahan yang terperinci menunjukkan bahwa memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas adakalanya membawa kesulitan bagi umat manusia, sedangkan syari’at islam ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia.
Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid dalam menetapkan hukum memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak tepat diberlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang akan dapat memberikan hukum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Dan menurut Imam al-Syathibi, beliau menjadikan kaidah istihsan sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’ bukanlah didasarkan kepada akal semata, tetapi didasarkan kepada nash dan ijma’.
Ulama Syafi’iyyah, Zhahiriyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasan mereka, sebagaimana yang dikemukakan Imam al-Syafi’i adalah:
1. Hukum-hukum syara’ itu ditetapkan berdasarkan nash (al-qur’an dan atau sunnah) dan pemahaman terhadap nash melalui kaidah qiyas. Istihsan bukanlah nash dan bukan pula qiyas. Jika istihsan berada di luar nash dan qiyas, maka hal itu berarti ada hukum-hukum yang belum ditetapkan Allah yang tidak dicakup oleh nash dan tidak bisa dipahami dengan kaidah qiyas.
2. Sejumlah ayat telah menuntut umat islam untuk taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya dan melarang secara tegas mengikuti hawa nafsu. Dalam berbagai persoalan yang dihadapi manusia, Allah memerintahkan mereka untuk merujuk al-qur’an dan sunnah sebagaimana yang dijumpai dalam surat al-Nisa’, 4:59.
3. Istihsan adalah upaya penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu saja. Jika boleh meninggalkan nash dan qiyas dan mengambil dalil lain, maka hal ini berarti membolehkan seseorang yang tidak bisa memahami nash atau qiyas menetapkan hukum berdasarkan istihsan, karena mereka juga memiliki akal. Akibatnya, akan bermunculan fatwa-fatwa hukum yang didasarkan pada pendapat akal semata, sekaligus merupakan upaya pengabaian terhadap nash.
4. Rasulullah SAW, tidak pernah mengeluarkan fatwanya berdasarkan istihsan. Menurut Imam Al-Syafi’i, jika Rasulullah saja tidak mau menetapkan hukum berdasarkan istihsan, maka sewajarnya, bahkan wajib bagi umat islam untuk tidak menetapkan hukum atas dasar landasan istihsan.
5. Rasulullah SAW. telah membantah fatwa sebagian sahabat yang berada di daerah ketika mereka menetapkan hukum berdasarkan istihsan (sangkaan baik) mereka.
6. Istihsan tidak mempunyai kriteria dan tolak ukur yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan secara syar’i sehingga tidak bisa dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.
[Mukhlish muchad Fuadi: 3rd Semester 2007]
muchad.com Comments List
muchad.com comments
contohnya kurang lengkap mas
muchad.com comments
kasih contoh yang lengkap donk ms?