muchad

DALIL SYAR’I (Bag. 3) : Istishhab

a.    Pengertian Istishhab
Secara etimologi, istishhab berarti “minta bersahabat” atau “membandingkan sesuatu dan mendekatkannya.” Secara terminologi, ada beberapa definisi istishhab yang dikemukakan para ahli ushul fiqh.
1.    Imam Al-Ghazali, mendefinisikan istishhab dengan: “Berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan didasarkan karena tidak diketahui adanya dalil, tetapi, setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada.”
Maksudnya, apabila dalam suatu kasus telah ada hukumnya dan tidak diketahui ada dalil lain yang mengubah hukum tersebut, maka hukum yang telah ada di masa lampau itu tetap berlaku sebagaimana adanya.
2.    Ibn Hazm (384-456 H/994-1064 M/tokoh ushul fiqh Zhahiriyyah),mendefinisikan istishhab dengan: “Berlakunya hukum asal yang ditetapkan berdasarkan nash (ayat dan atau hadits) sampai ada dalil lain yang menunjukkan perubahan hukum tersebut.”
Kedua definisi ini, pada dasarnya, mengandung pengertian bahwa hukum-hukum yang sudah ada pada masa lampau tetap berlaku untuk zaman sekarang dan yang akan datang, selama tidak ada dalil lain yang mengubah hukum itu.
Contohnya, dalam masalah perkawinan. Setelah berlangsungnya akad nikah antara seorang perjaka dengan seorang perawan dan setelah berlangsungnya hubungan suami istri, suami mengatakan bahwa istrinya tidak perawan lagi. Tuduhan suami ini tidak dibenarkan, kecuali ia dapat mengemukakan bukti-bukti yang sah dan kuat, karena seorang perawan pada dasarnya belum melakukan hubungan suami istri. Oleh sebab itu, jika ada tuduhan dari suaminya bahwa ia tidak perawan lagi ketika kawin, maka tuduhan itu harus dibuktikan.
Para ulama ushul fiqh, menyatakan bahwa penetapan hukum dalam kasus di atas didasarkan pada metode istishhab.
b.    Macam-Macam Istishhab
Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa istishhab itu ada lima macam, yang sebagiannya disepakati dan sebagian lainnya diperselisihkan. Kelima macam istishhab itu adalah:
1.    Istishhab hukm al-ibahah al-ashliyyah
Maksudnya, menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
2.    Istishhab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus
Ibn Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H/1292-1350 H., ahli ushul fiqh Hanbali), menyebutnya dengan “wash al tsabit li al-hukm hatta yutsbita khilafuhu (sifat yang melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkan hukum yang berbeda dengan itu).”
Contohnya, hukum wudhu seseorang yang telah berwudhu’ dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa ragu apakah wudhunya masih ada atau telah batal, maka berdasarkan istishhab, wudhunya itu dianggap masih ada, karena keraguan yang muncul terhadap batal atau tidaknya wudhu tersebut, tidak bisa mengalahkan keyakinan seseorang bahwa ia masih dalam keadaan berwudhu. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, terhadap seseorang yang merasa ragu terhadap keutuhan wudhunya.
3.    Istishhab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishhab dengan nash selama tidak ada dalil naskh (yang membatalkannya).
Contoh istishhab dengan nash selama tidak ada yang me-naskh-kannya adalah kewajiban berpuasa yang dicantumkan Allah dalam surat al-Baqarah, 2:183; yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan bagi umat sebelum kamu…”
Kewajiban berpuasa di bulan ramadhan, yang berlaku bagi umat sebelum islam, tetap wajib bagi umat islam berdasarkan ayat di atas, selama tidak ada nash lain yang membatalkannya. Kasus ini pun, menurut jumhur ulama ushul fiqh, termasuk istishhab, tetapi menurut ulama ushul fiqh lainnya, seperti yang dikemukakan di atas tidak dinamakan istishhab, tetapi berdalil berdasarkan kaidah bahasa.
4.    Istishhab hukum akal sampai datangnya  hukum syar’i
Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan hukum-hukum syar’i sebelum datangnya syara’, seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia, sampai datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum.
5.    Istishhab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’, tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan
Istishhab seperti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujjahannya. Misalnya, para ulama fiqh menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayammum untuk mengerjakan sholat. Apabila sholatnya selesai ia kerjakan, maka sholatnya dinyatakan sah. Akan tetapi, apabila dalam keadaan sholat ia melihat ada air, apakah sholatnya harus dibatalkan untuk kemudian berwudhu atau shalat itu ia teruskan?
Menurut ulama Malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh membatalkan sholatnya, karena adanya ijma’ yang mengatakan bahwa shalatnya itu sah apabila dikerjakan sebelum melihat air. Mereka menganggap hukum ijma’ itu tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudhu dan mengulang kembali shalatnya.
Akan tetapi, ulama Hanafiyyah dan Hanabilah mengatakan orang yang shalat dengan tayammum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya, untuk kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya itu. Mereka tidak menerima ijma’ tentang sahnya shalat orang yang bertayammum sebelum melihat air, karena ijma’ menurut mereka hanya terkait dengan hukum sahnya shalat bagi orang dalam keadaan ketiadaan air, bukan dalam keadaan tersedianya air.
c.    Kehujjahan Istishhab
Istishhab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama ushul berkata, “Sesungguhnya Istishhab adalah akhir tempat beredarnya fatwa”. Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk mereka.
Istishhab juga telah  dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syari’at, antara lain sebagai berikut, “Asal sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya”. Sesuai dengan kaidah:

الأصل في الأشياء الإباحة

Artinya:
“Asal segala sesuatu itu adalah kebolehan”
Pendapat yang dianggap benar adalah Istishhab bisa dijadikan dalil hukum karena hakikatnya dalillah yang telah menetapkan hukum tersebut. Istishhab itu tiada lain adalah menetapkan dalalah dalil pada hukumnya.
d.    Pendapat Ulama tentang Istishhab
Ulama Hanafiyyah menetapkan bahwa Istishhab merupakan hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud oleh mereka. Dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa Istishhab merupakan ketetapan sesuatu, yang telah ada menurut keadaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas perbedaannya.